Rabu, 26 April 2017

TERJEMAHAN AMPAR AMPAR PISANG

Suci Gitya Iranata, Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman, 2016.
Menejermahkan Ampar-Ampar Pisang
Untuk tugas kali ini saya akan menerjemahkan sekaligus meneliti sedikit tentang Ampar-Ampar Pisang yaitu nyanyian yang berasal dari Kalimantan Selatan. Nyanyian berarti yang dinyanyikan atau lagu yang dijelaskan dalam Kamus Pelajar. Keadaan sekarang sudah berbeda, saat ini masyarakat membuat sastra, pada zaman lampau masyarakat memilikinya, begitulah yang dikatakan oleh Robert Escarpit. Dan sekarang kita hanya meneliti dan menejermahkan sesuatu yang sudah dimiliki oleh orang dulu, dan itu adalah suatu yang susah-susah-mudah.
Banyak masyarakat dari daerah lain familiar dengan bahasa banjar. Terutama yang menetap di pulau Kalimantan. Masyarakat Kalimantan Selatan mayoritas adalah suku Banjar. Kesultanan Banjar (Banjarmasin) adalah kerajaan Hindu bawahan Majapahit bernama Nagara Daha dalam penjelasan Ensiklopedia Sejarah dan Budaya.  Lagunya digunakan untuk menghilangkan rasa bosan ketika menunggu pisang yang dijemur, Hakim (2009). Saya menejermahkan Ampar Ampar Pisang Kata perkata diartikan dan kemudian saya menejermahkan keseluruhannya.

Ampar-Ampar Pisang
Ampar-Ampar Pisang
 Pisangku Balum Masak
Masak Sabigi, Dihurung Bari-Bari
Masak Sabigi, Dihurung Bari-Bari
Manggalepak Manggalepok
Patah Kayu Bengkok
Bengkok Dimakan Api
Apinya Cangcurupan
Nang Mana Batis Kutung Dikitip Bidawang
Nang Mana Batis Kutung Dikitip Bidawang

Translasi
 Susun-Susun Pisang
Susun-Susun Pisang
Pisangku Belum Masak
Masak Sebutir , Dipenuhi Bari-Bari
Masak Sebutir , Dipenuhi Bari-Bari
Manggalepak Manggalepok (suara kayu patah)
Patah Kayu yang Bengkok
Yang Bengkok Dilahap Api
Apinya Padam
Yang Mana Kaki Yang Putus itu Digigit Biawak
Yang Mana Kaki Yang Putus itu Digigit Biawak

Terjemahan
Menjemur Pisang
Menjemur Pisang
Pisangnya belum masak
Pisangnya masak satu dan dikerumuni lalat
Krek, Krek suara patahnya kayu
Kayu dipatahkan
Kemudian kayu dibakar
Pembakarannya padam
Jika ada kaki yang tersentuh berarti kalah
Dari Lirik asli ke translasi hingga ke terjemahan terdapat beberapa perubahan. Contohnya seperti ampar ampar pisang yang ditranslasi menjadi susun susun pisang kemudian memiliki makna menjemur pisang. Kenapa menjemur ? karena konteks dalam lagu itu adalah menjemur pisang untuk dijadikan jajanan ringan orang banjar. Kemudian saya bertanya kenapa mesti pisang ? setelah mencari tahu, ternyata pisang merupakan salah satu bahan pokok untuk orang banjar. Makanan khas dari Kalimantan Selatan yaitu amparan tatak pisang, pundut nasi, bingka barandam, putrid selat, kokolehpenjelasan dalam Mengenal Seni & Budaya Indonesia. Dan juga saya mengetahui bahwa hampir semua daerah di Indonesia terdapat tanaman pisang seperti dalam Buku Pintar Asal-Usul Flora dan Fauna.
Lagu “Ampar-Ampar Pisang” dari daerah Kalimantan Selatan dinyanyikan ketika sedang menunggu pisang yang sedang dijemur atau orang banjar bilang “Rimpi”. “Rimpi” adalah makanan tradisional khas orang banjar. Cara membuat rimpi adalah pisang diiris kemudian diampar (disusun) dan dibiarkan hingga hampir matang dan sedikit busuk. Setelah itu disusun di bawah sinar matahari hingga mengering dan mengeras kemudian mengeluarkan aroma manis yang khas.
Pada lirik Masak Sabigi, Dihurung Bari-Bari diterjemahkan menjadi Pisangnya masak satu dan dikerumuni lalat. Bari ini adalah hewan semacam serangga atau sejenis lalat. Karena jika pisang itu sudah beraroma manis maka tandanya sudah matang dan sedikit busuk, karena aroma itulah lalat mengerumuni pisang itu.
Pada lirik Nang Mana Batis Kutung Dikitip Bidawang ditranslasi menjadi Yang Mana Kaki Yang Putus itu Digigit Biawak kemudian diterjemahkan Jika ada kaki yang tersentuh berarti kalah. Kenapa? Karena lagu ini dilakukan untuk bermain tepuk tepuk kaki dan kaki yang tersentuh berarti kalah. Mungkin orang yang tidak paham akan tujuan lagu ini bingung, karena liriknya terdapat kata bidawang yang artinya biawak. Biawak adalah hewan semacam kadal namun berukuran kecil. Lagu ini memiliki konteks yang berbeda ketika dinyanyikan.
Dari keseluruhan lirik yang bisa saya jelaskan hanya sedikit karena lirik yang lainnya menurut saya tidak ada masalah. Itulah paparan saya mengenai makna lagu ampar-ampar pisang yang masih banyak perlu perbaikan.



Daftar pustaka
Escarpit, Robert.2005. Sosiologi sastra. Jakart : Yayasan obor Indonesia
Hakim, Thursan. 2009. Kumpulan Lagu daerah. Bandung: Gramedia
Kamus besar bahasa Indonesia.2014
Kamus pelajar. 2003. Bandung: Remaja Rosdakarya
Oktorino, Nino.2009. Ensiklopedia sejarah dan budaya. Jakarta: Lentera abadi Interaktif
Rizky, R. 2012. Mengenal seni dan budaya Indonesia. Depok: Cerdas
Rofi'ie, Aim. 2011. Buku pintar Asal Usul Flora dan Fauna. Yogyakarta:Diva Press



Senin, 24 April 2017

Sekilas Isi buku "Pengadilan Puisi" Pamusuk Eneste

Rangkuman
Suci Gitya Iranata
1614015041

“Pengadilan Puisi”
Pamusuk Eneste

            Pada pertengahan bulan Agustus 1974,  berisi undangan untuk baca sajak di bandung dan mengikuti suatu kegiatan sastra. 8 September 1974 Sutardji Calzoum Bachri menyebut-nyebut tentang  bentuk “Pengadian Puisi”.
            Acara semacam ini bisa jadi kocak, tapi juga mungkin  menghambar atau malah konyol. Sekiranya “skenarionya” sudah disusun lebih dulu dan malah ada semacam latihan .
            Puisi Indonesia Mutakhir jadi terdakwa yang diadili; ada jaksa yang mendakwa, ada pembela yang menangkis dakwaan, ada orang-orang yang membeikan kesaksian dan tentu saja kemudian ada hakim yang memutuskan.
            Dakwaan untuk keadaan kritis puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagaluang dan H.B.Jassin, terhadap penjagoan subagio Sastrowardoyo oleh MSH serta penjagoan W.S.Rendra oleh HBJ, terhadap tindak dibicarakannya Sutardji cazoum bachri dan darmanto Jt yang membawa gejala pembaharuan oleh MSH dan HBJ terhadap saling memuji di dalam tiga serangkai goenawan Mohamat cum sapardi doko damono cum abdul hadi W.M.terhadap horison yang tidak lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab, terjerums menjadi majalah keluarga, dan tempat tumbuh subur epigon-epigon seperti abdul hadi
            Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya dengan semangat Zola mendakwa “kehidupan puisi indonesia akhir-akhir ini tidak sehat, tidak jelas dan brengsek”.
            Kehidupan puisi selama ini mengalami semacam polusi dan bahkan manipulasi manipulasisehingga menyebabkan sesak tidak sehat, tidak jelas, dan sekaliannya brengsek!.
            Tuntutannya adalah:
1)      Pertama, para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir khususnyan HBJ dan MSH harus di pesiunka dari peranan yang pernah dia miliki.
2)      Kedua, para editir majalah sastra khususnya horison(sapardi joko darmono) dicuti besarkan.
3)      Ketiga, para penyair mapan seperti subagio, rendra, goenawan, dan sebangsanya di larang menulis puisi dan para epigonyaharus dikenakanhukum pembuangan kemudian interaksinya dibuang pula ke pulau paling terpencil.
4)      Ke empat dan terkahir, horison dan budaya jaya harus di cabut SIT nya dan yang sudah terbit selama ini dinyataan tidak berlaku, da dilanrang untuk di baca peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkebngan sastra dan puisi yang didasarkan atas kita undang-undang hukum puisi.
           
            Kala itu salah satu yang dituduhkan adalah para kritikus antara lain H.B.Jassin dan M.S Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa yang selal menghembus-hembuska angin sastra yang tidak sehat itu, serta tidak sanggup melihat gejala dan kenyataan adanya aliran baru yang indonesia dan karena itu harus di pensiunkan.
            Kritikus dinilai tidak becus dan tergeser kedudukannya karena tampil kritikus yang lebih diperhatikan. Dan juga diperlukan kritikus yang aneka ragam sehingga mampu menangani corak baru dalam dunia kesusastraan.
            Para penyair tidak baik saling menjelekkan, alangkah baiknya mereka memberikan karya yang baik menurut bakatnya. Dan ada pula gunannya masing-masing penyair sekali-sekali menjadi juru bicara bagi sajaknya yang belum dimengerti oleh publik .
            Kirnanto mengamuk dan bertanya: “apakah kritik sastra di Indonesia telah mati sebelum hidup?”. “Saya mendakwa kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!”
            Menurut M.S. Hatugalung, Pandangan-pandangan Slamet Kinanto adalah pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi. Puisi itu brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang. Kirnantolah yang brengsek. Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu.
            Tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahwa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak (kecuali, barangkali, empat buah pokok tuntutannya yang dibagian akhir tulisan itu). Barangkali kita harus menghargai Slamte Kirnanto karena “keberanian”nya tampil di Bandung tempo hari , namun saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu “serius” untuk pertemuan serupa itu. Suasana pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang bertindak sebagai “Penuntut Umum”.
            Apa salahnya pengadilan untuk Puisi. Pertama-tama, tentu saja untuk mensahkan hak hidup puisi Indonesia. Dengan demikian penyair-penyair sudah tidak lagi dikejar-kejar pertanyaan tuntutan. Yang kedua, penyair-penyair akan mengerti mana yang boleh ditulis atau dipuisikan dan mana yang tidak. Kemudian yang ketiga, pengadilan ini berhak menjatuhkan hukuman pada penyair-penyair yang suka mengacau: tentu saja hukuman mental, sebab puisi terkena hukuman ini. Sajak-Sajak kotor dan menghina agama, tentu akan menyebabkan si penyair dituntut.












Senin, 17 April 2017

Legenda Kampung-ku “Sama Rendah-ku”

Legenda Kampung-ku “Sama Rendah-ku”
Suci Gitya Iranata, Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya.

            Matahari yang menyadarkanku dari dunia mimpi dan aku Melihat kearah langit dan mengagumi betapa cerahnya hari ini untuk beraktivitas. Hari ini kelasku akan berkunjung ke salah satu cagar budaya nasional di kota Samarinda yaitu Makam LaMohang Daeng Mangkona untuk mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara dan akan dipimpin oleh dosen yang bernama Dahri Dahlan. Makam itu berada di samarinda seberang.
            Sebelum melakukan kunjungan, aku menyempatkan diri untuk berolahraga selama satu jam, karna jarak antara makam itu tidak jauh dari rumahku, sehingga aku mampu melakukan hal-hal lainnya. Karena jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku, aku memilih untuk tidak pergi ke titik kumpul bersama teman-teman yang lokasi rumahnya lumayan jauh dari makam itu. Aku hanya ditugaskan untuk menunggu mereka disekitar makam itu.
            Rombongan yang berada di titik kumpul terlambat sekitar 2 jam karena ada suatu kendala. Rencana berkunjung  pukul 9 namun kami sampai disitu sekitar pukul 11. Dikarenakan hari yang panas, aku memilih untuk kembali kerumah bersama beberapa teman yang sudah menunggu di makam itu sambil menunggu rombongan yang belum datang.
            Sekitar pukul 11 semua teman-teman telah berkumpul di makam Lamohang Daeng Mangkona untuk mendengarkan bapak Abdillah atau Juru kunci makam, yang akan bercerita tentang Legenda Lamohang Daeng Mangkona yang berasal dari Sulawesi Selatan yang menjaga kota samarinda pada masanya.
            Namun ada satu hal yang membuatku sedih, saat berkunjung pada hari itu, aku sedang kedatangan tamu (Haid) dan menurut kepercayaanku, wanita yang sedang dalam keadaan tidak suci maka tidak boleh mendekati makam (Kuburan) karena alasan tertentu. Sehingga aku hanya dapat mendengarkan bapak Abdillah dari luar pagar saja dan tidak bisa bertanya apa-apa, namun apa yang ingin aku tanyakan sudah ada beberapa temanku yang menanyakan kepada bapak Abdillah dan itu sangat membantuku untuk mengerjakan tugas mendatang.
           
            Berbicara tentang tugas, aku teringat bahwa tugas itu bertemakan tentang legenda. Beberapa minggu sebelum kunjungan ke Makam Lamohang Daeng Mangkona, materi tentang Legenda sudah diberikan oleh kak Dahri (Dosen) untuk dipelajari dan dipahami.
            “Legenda sama dengan mitos, juga diyakini sebagai kejadian yang sungguh-sungguh terjadi, namun legenda bersifat sekuler (Keduniawian). Legenda terjadi pada masa yang belum telalu lama dan bertempat di dunia seperti yang kita tempati” begitulah apa yang dikatakan oleh kak Dahri Dahlan pada saat di kelas. Kemudian dia juga mengatakan “Golongan Legenda ada 4 yaitu : Legenda Keagamaan, Legenda Alam Gaib, Legenda Perseorangan, dan Legenda Setempat”.       
             Dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang berhubungan dengan peristiwa sejarah.
            Legendaris (tokoh legendaris), ajektif dari kata legenda yang lebih luas lingkupnya. Karena tradisi lisan atau tertulis maka sekitar seorang tokoh historis dapat disusun sejumlah cerita yang mengagungkan kepahlawanannya dan yang sifat historis sukar dicek,  penjelasan dalam buku Pemandu di Dunia Sastra. Salah satu contoh tokoh legendaris adalah Lamohang Daeng Mangkona sang pendiri kota Samarinda.
            Dalam buku Riwayat Samarinda, Menurut cerita penyebaran orang-orang bugis keseluruh wilayah Nusantara termasuk di Kalimantan Timur khususnya di tanah kutai dari keluarga bangsawan Wajo dan Bone pada tahun 1965. Tewasnya Maltolla anak bangsawan Bone yang ditikam anak bangsawan Wajo bernama La Ma’dukelleng , yaitu putra Agung raja Paniki. Kematian Matalla tidak dapat diterima begitu saja oleh pihak kerabat kerajaan Bone. Pertempuran terjadi antara Wajo dan Bone. Pihak bone memiliki kekuatan yang cukup besar, maka secara perlahan kekuatan Wajo mulai melemah. Melihat kondisi yang semakin memarah, dan kerajaan Wajo memutuskan agar La Ma’Dukelleng mengungsi dan meninggalkan Wajo Pergi ke Tanah Kutai Kalimantan Timur.
            Setelah satu bulan mereka menetap disana, datang lagi rombongan kedua orang-orang Wajo dan Soppeng dengan jumlah lebih banyak serta menyampaikan kekalahan yang dialami Wajo. Kekalahan tersebut bukan hanya karena berperang dengan orang-orang bone tetapi rombongan ini meninggalkan Wajo karena perjanjian “Bongaja” dengan pihak Belanda yang menarik keuntungan dan mengambil kesempatan mengadu domba antar kerjaan di Sulawesi Selatan sehingga terpecah belah.
            Sebagian orang bugis wajo dari kerajaan Gowa yang tidak sudi tunduk dan patuh pada isi perjanjian Bongaja meneruskan perjuangan dan melakukan perlawanan secara bergerilya. Ada pula yang memutuskan meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi kepulau-pulau lain. Diantaranya adalah rombongan yang dipimpin LaMohang Daeng Mangkona yang memilih meninggalkan tanah leluhurnya, mediasi Selat Makassar menuju kerajaan kutai di Kalimantan Timur. Romobongan LaMohang Daeng Mangkona ini cukup besar, berjumlah sekitar 200 orang dan menggunkan 18 perahu.
            Dalam perungingan antara La Ma’Dukelleng dan LaMohang Daeng Mangkona. Diputuskan agar rombongan Daeng Mangkona tetap menuju daerah Kerajaan Kutai yang masih berpusat di Kutai Lama. Berangkatlah rombongan yang dipimpin Daeng Mangkona menuju Kutai Kartanegara untuk meminta perlindungan dengan Raja Kutai yang waktu itu dirajai oleh Aji Pangeran Dipati Mojo Kesumo yang memerintah pada tahun 1665-1668. Setelah beberapa hari mereka berlayar akhirnya sampailah mereka didaerah muara sungai Mahakam.
            Sungai Mahakam adalah sebuah sungai terpanjang dan terbesar di Kalimantan Timur yang membelah bumi dengan alur melintang dari Barat ke Timur. Sedang kerajaan Kutai Kartanegara berdiri sekitar tahun 2300 dengan menurunkan raja hingga raja terakhir sebanyak 22 raja hingga tahun 1960 yaitu Sultan Parikesit.
            Dalam buku Mari Mengenal Samarinda, kedatangan rombongan pengungsi ini diterima dengan baik oelh Sultan kutai Aji Dipati Mojo Kesumo yang saat itu bertahta di Pemarangan (sekarang Kampung Jembayan). Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh raja  kutai rombongan pengungsi tersebut diberi lokasi tempat tinggal di sekitar Kampung Melanti (Samarinda Seberang), yaitu daerah dataran rendah di tepi Sungai Mahakam yang cocok untuk usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan.

            Kemudian buku Riwayat Samarinda juga menuliskan, untuk kepentingan pertahanan, LaMohang Daeng Mangkona Serta pengikutnya diberi tempat didaerah rantau rendah yang subur dipinggiran kiri sungai Mahakam. Keberadaan mereka ditempat tersebut selain untuk membuka perkampungan juga untuk kepentingan pertahanan dan pengembangan perekonomian kerajaan. Untuk itu LaMohang Daeng Mangkona dipercayakan sebagai petinggi di daerah tersebut dengan gelar “Poa Adi”.
            Pemberian tempat tersebut memang tidak sia-sia, apa yang diharapkan oleh raja kutai memang berhasil. Semakin lama kampung yang baru dibuka itu semakin berkembang serta makmur . Pendatang tidak hanya dari Sulawesi saja tetapi orang-orang Banjar dari Kalsel. Kelompok demi kelompok berdatangan pula ke daerah yang dipimpin oleh LaMohang Daeng Mangkona. Hutan-Hutan dibabat lalu dijadikan perkebunan dan persawahan dan lain sebagainnya, sehingga menjamin kehidupan masyarakat secara keseluruhan . Maklum orang-orang bugis ini amat kuat bergotong-royong dan rasa kesetiakawanan. Mereka adalah penganut agama islam yang panatik. Padahal ketika itu rakyat maupun bangsawan kutai masih banyak yang beragama Hindu Kaharingan. Sebagiannya memang sudah pula memeluk agama Islam. Dengan adat kesetiakawanan yang tinggi masyarakat dibawah pimpinan Daeng Mangkona atau Poa Adi ini merasa tidak ada yang berderajat lebih tinggi dari yang lainnya. Karena itu mereka disini disebut orang berbudi dan rendah hati. Nama ini sangat memperngaruhi keadaan daerah tersebut. Semula banyak orang menyebut daerah itu dengan nama “Sama Rendah” yang lama kelamaan berganti sebutan “Samarinda” asli nama Samarinda itu adalah yang kini disebut sebagai Samarinda Seberang.
            Orang-orang bugis Wajo ini mulai membangun pemukiman didaerah “Sama rendah” atau Samarinda itu pada Januari 1668. Yang kemudian dijadikan patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda. Hari jadi kota Samarinda kemudian ditetapkan tanggal 21 Januari 1668 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1078 Hijriah. Penetapan hari jadi kota samarinda dilaksanakan bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Samarinda ke 320 pada 21 Januari 1980. Penetapan ini kemudian di perkuat Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samainda Nomor.1/Tahun 1988 setunggal 21 Januari 1988, pasal 1 yang berbunyi “Hari jadi kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1078 H”.
            Seiring berjalannya waktu, bertumbuhanlah kampung-kampung komunitas etnis lain di daerah seberang Samarinda Seberang, di jantung kota Samarinda sekarang. Apa alasan pemilihan lokasi di seberang Samarinda Seberang sebagai Lokasi tempat tinggal dan bahkan pertumbuhan komunitas masyarakat disana jauh lebih pesat, sampai saat ini belum diketahui (perlu penelitian lebih lanjut). Namun yang pasti, pertunmbuhan penduduk yang terjadi mulai mengarah pada terbentuknya kota dalam pengertian saat ini, sebagai daerah urban yang dihuni berbagai etnis dan memiliki cuku sarana-prasarana yang saat itu dianggap memadai. 
             Kematian Lamohang Daeng Mangkona tidak diketahui penyebab dan waktu meninggalnya sang Legenda pendiri kota samarind. Berasal dari sumber kami saat berkunjung makam ini ditemukan oleh pak Toha yaitu bapak dari Pak Abdillah pada tahun 1965. Kemudian diangkat menjadi cagar budaya Nasional.
            Seorang perantau dari Sulawesi Selatan diterima baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Menunjukan bahwa toleransi antar suku dan budaya sudah ada sejak dulu, bahkan saling mempercayai satu sama lain. LaMohang Daeng Mangkona seorang pemimpin daerah Samarinda yang rendah hati patut dicontoh. Dan diingat jasa-jasanya untuk mendirikan daerah Samarinda.
            LaMohang Daeng Mangkona kurang dipublikasikan kepada masyarakat sekitar samarinda, karena kurangnya minat dan komunikasi untuk mengingat sejarah berdirinya samarinda. Semoga Legenda dari daerah Samarinda ini dapat diketahui oleh banyak orang terutama masyarakat yang tinggal di samarinda. 



Daftar pustaka
Balham, Johansyah. 2009. Riwayat Samarinda & Cerita Legenda Kalimantan Timur. Kalimantan Timur: Biro Humas
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:Penerbit Kanisius
Kamus Besar Bahasa Indonesia.2014
Muzakir, Djahar. 2007. Mari Mengenal Samarinda. Samarinda: Pustaka Spirit