Legenda
Kampung-ku “Sama Rendah-ku”
Suci
Gitya Iranata, Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya.
Matahari
yang menyadarkanku dari dunia mimpi dan aku Melihat kearah langit dan mengagumi
betapa cerahnya hari ini untuk beraktivitas. Hari ini kelasku akan berkunjung
ke salah satu cagar budaya nasional di kota Samarinda yaitu Makam LaMohang
Daeng Mangkona untuk mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara dan akan dipimpin
oleh dosen yang bernama Dahri Dahlan. Makam itu berada di samarinda seberang.
Sebelum
melakukan kunjungan, aku menyempatkan diri untuk berolahraga selama satu jam,
karna jarak antara makam itu tidak jauh dari rumahku, sehingga aku mampu
melakukan hal-hal lainnya. Karena jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku, aku
memilih untuk tidak pergi ke titik kumpul bersama teman-teman yang lokasi
rumahnya lumayan jauh dari makam itu. Aku hanya ditugaskan untuk menunggu
mereka disekitar makam itu.
Rombongan yang
berada di titik kumpul terlambat sekitar 2 jam karena ada suatu kendala.
Rencana berkunjung pukul 9 namun kami
sampai disitu sekitar pukul 11. Dikarenakan hari yang panas, aku memilih untuk
kembali kerumah bersama beberapa teman yang sudah menunggu di makam itu sambil
menunggu rombongan yang belum datang.
Sekitar
pukul 11 semua teman-teman telah berkumpul di makam Lamohang Daeng Mangkona
untuk mendengarkan bapak Abdillah atau Juru kunci makam, yang akan bercerita
tentang Legenda Lamohang Daeng Mangkona yang berasal dari Sulawesi Selatan yang
menjaga kota samarinda pada masanya.
Namun
ada satu hal yang membuatku sedih, saat berkunjung pada hari itu, aku sedang
kedatangan tamu (Haid) dan menurut kepercayaanku, wanita yang sedang dalam
keadaan tidak suci maka tidak boleh mendekati makam (Kuburan) karena alasan
tertentu. Sehingga aku hanya dapat mendengarkan bapak Abdillah dari luar pagar
saja dan tidak bisa bertanya apa-apa, namun apa yang ingin aku tanyakan sudah
ada beberapa temanku yang menanyakan kepada bapak Abdillah dan itu sangat
membantuku untuk mengerjakan tugas mendatang.
Berbicara
tentang tugas, aku teringat bahwa tugas itu bertemakan tentang legenda.
Beberapa minggu sebelum kunjungan ke Makam Lamohang Daeng Mangkona, materi
tentang Legenda sudah diberikan oleh kak Dahri (Dosen) untuk dipelajari dan
dipahami.
“Legenda
sama dengan mitos, juga diyakini sebagai kejadian yang sungguh-sungguh terjadi,
namun legenda bersifat sekuler (Keduniawian). Legenda terjadi pada masa yang
belum telalu lama dan bertempat di dunia seperti yang kita tempati” begitulah
apa yang dikatakan oleh kak Dahri Dahlan pada saat di kelas. Kemudian dia juga
mengatakan “Golongan Legenda ada 4 yaitu : Legenda Keagamaan, Legenda Alam
Gaib, Legenda Perseorangan, dan Legenda Setempat”.
Dan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Legenda adalah cerita rakyat pada
zaman dahulu yang berhubungan dengan peristiwa sejarah.
Legendaris
(tokoh legendaris), ajektif dari kata legenda yang lebih luas lingkupnya.
Karena tradisi lisan atau tertulis maka sekitar seorang tokoh historis dapat
disusun sejumlah cerita yang mengagungkan kepahlawanannya dan yang sifat
historis sukar dicek, penjelasan dalam
buku Pemandu di Dunia Sastra. Salah satu contoh tokoh legendaris adalah
Lamohang Daeng Mangkona sang pendiri kota Samarinda.
Dalam
buku Riwayat Samarinda, Menurut cerita penyebaran orang-orang bugis keseluruh
wilayah Nusantara termasuk di Kalimantan Timur khususnya di tanah kutai dari
keluarga bangsawan Wajo dan Bone pada tahun 1965. Tewasnya Maltolla anak
bangsawan Bone yang ditikam anak bangsawan Wajo bernama La Ma’dukelleng , yaitu
putra Agung raja Paniki. Kematian Matalla tidak dapat diterima begitu saja oleh
pihak kerabat kerajaan Bone. Pertempuran terjadi antara Wajo dan Bone. Pihak
bone memiliki kekuatan yang cukup besar, maka secara perlahan kekuatan Wajo
mulai melemah. Melihat kondisi yang semakin memarah, dan kerajaan Wajo
memutuskan agar La Ma’Dukelleng mengungsi dan meninggalkan Wajo Pergi ke Tanah
Kutai Kalimantan Timur.
Setelah
satu bulan mereka menetap disana, datang lagi rombongan kedua orang-orang Wajo
dan Soppeng dengan jumlah lebih banyak serta menyampaikan kekalahan yang
dialami Wajo. Kekalahan tersebut bukan hanya karena berperang dengan
orang-orang bone tetapi rombongan ini meninggalkan Wajo karena perjanjian
“Bongaja” dengan pihak Belanda yang menarik keuntungan dan mengambil kesempatan
mengadu domba antar kerjaan di Sulawesi Selatan sehingga terpecah belah.
Sebagian
orang bugis wajo dari kerajaan Gowa yang tidak sudi tunduk dan patuh pada isi
perjanjian Bongaja meneruskan perjuangan dan melakukan perlawanan secara
bergerilya. Ada pula yang memutuskan meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi
kepulau-pulau lain. Diantaranya adalah rombongan yang dipimpin LaMohang Daeng
Mangkona yang memilih meninggalkan tanah leluhurnya, mediasi Selat Makassar
menuju kerajaan kutai di Kalimantan Timur. Romobongan LaMohang Daeng Mangkona
ini cukup besar, berjumlah sekitar 200 orang dan menggunkan 18 perahu.
Dalam
perungingan antara La Ma’Dukelleng dan LaMohang Daeng Mangkona. Diputuskan agar
rombongan Daeng Mangkona tetap menuju daerah Kerajaan Kutai yang masih berpusat
di Kutai Lama. Berangkatlah rombongan yang dipimpin Daeng Mangkona menuju Kutai
Kartanegara untuk meminta perlindungan dengan Raja Kutai yang waktu itu dirajai
oleh Aji Pangeran Dipati Mojo Kesumo yang memerintah pada tahun 1665-1668.
Setelah beberapa hari mereka berlayar akhirnya sampailah mereka didaerah muara
sungai Mahakam.
Sungai
Mahakam adalah sebuah sungai terpanjang dan terbesar di Kalimantan Timur yang
membelah bumi dengan alur melintang dari Barat ke Timur. Sedang kerajaan Kutai
Kartanegara berdiri sekitar tahun 2300 dengan menurunkan raja hingga raja
terakhir sebanyak 22 raja hingga tahun 1960 yaitu Sultan Parikesit.
Dalam
buku Mari Mengenal Samarinda, kedatangan rombongan pengungsi ini diterima
dengan baik oelh Sultan kutai Aji Dipati Mojo Kesumo yang saat itu bertahta di
Pemarangan (sekarang Kampung Jembayan). Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh
raja kutai rombongan pengungsi tersebut
diberi lokasi tempat tinggal di sekitar Kampung Melanti (Samarinda Seberang),
yaitu daerah dataran rendah di tepi Sungai Mahakam yang cocok untuk usaha
pertanian, perikanan, dan perdagangan.
Kemudian buku
Riwayat Samarinda juga menuliskan, untuk kepentingan pertahanan, LaMohang Daeng
Mangkona Serta pengikutnya diberi tempat didaerah rantau rendah yang subur
dipinggiran kiri sungai Mahakam. Keberadaan mereka ditempat tersebut selain
untuk membuka perkampungan juga untuk kepentingan pertahanan dan pengembangan
perekonomian kerajaan. Untuk itu LaMohang Daeng Mangkona dipercayakan sebagai
petinggi di daerah tersebut dengan gelar “Poa Adi”.
Pemberian
tempat tersebut memang tidak sia-sia, apa yang diharapkan oleh raja kutai
memang berhasil. Semakin lama kampung yang baru dibuka itu semakin berkembang
serta makmur . Pendatang tidak hanya dari Sulawesi saja tetapi orang-orang
Banjar dari Kalsel. Kelompok demi kelompok berdatangan pula ke daerah yang
dipimpin oleh LaMohang Daeng Mangkona. Hutan-Hutan dibabat lalu dijadikan
perkebunan dan persawahan dan lain sebagainnya, sehingga menjamin kehidupan
masyarakat secara keseluruhan . Maklum orang-orang bugis ini amat kuat
bergotong-royong dan rasa kesetiakawanan. Mereka adalah penganut agama islam
yang panatik. Padahal ketika itu rakyat maupun bangsawan kutai masih banyak
yang beragama Hindu Kaharingan. Sebagiannya memang sudah pula memeluk agama
Islam. Dengan adat kesetiakawanan yang tinggi masyarakat dibawah pimpinan Daeng
Mangkona atau Poa Adi ini merasa tidak ada yang berderajat lebih tinggi dari
yang lainnya. Karena itu mereka disini disebut orang berbudi dan rendah hati.
Nama ini sangat memperngaruhi keadaan daerah tersebut. Semula banyak orang
menyebut daerah itu dengan nama “Sama Rendah” yang lama kelamaan berganti
sebutan “Samarinda” asli nama Samarinda itu adalah yang kini disebut sebagai
Samarinda Seberang.
Orang-orang
bugis Wajo ini mulai membangun pemukiman didaerah “Sama rendah” atau Samarinda
itu pada Januari 1668. Yang kemudian dijadikan patokan untuk menetapkan hari
jadi kota Samarinda. Hari jadi kota Samarinda kemudian ditetapkan tanggal 21
Januari 1668 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1078 Hijriah.
Penetapan hari jadi kota samarinda dilaksanakan bertepatan dengan peringatan
hari jadi kota Samarinda ke 320 pada 21 Januari 1980. Penetapan ini kemudian di
perkuat Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samainda Nomor.1/Tahun
1988 setunggal 21 Januari 1988, pasal 1 yang berbunyi “Hari jadi kota Samarinda
ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban
1078 H”.
Seiring
berjalannya waktu, bertumbuhanlah kampung-kampung komunitas etnis lain di
daerah seberang Samarinda Seberang, di jantung kota Samarinda sekarang. Apa
alasan pemilihan lokasi di seberang Samarinda Seberang sebagai Lokasi tempat
tinggal dan bahkan pertumbuhan komunitas masyarakat disana jauh lebih pesat,
sampai saat ini belum diketahui (perlu penelitian lebih lanjut). Namun yang
pasti, pertunmbuhan penduduk yang terjadi mulai mengarah pada terbentuknya kota
dalam pengertian saat ini, sebagai daerah urban yang dihuni berbagai etnis dan
memiliki cuku sarana-prasarana yang saat itu dianggap memadai.
Kematian Lamohang Daeng Mangkona tidak
diketahui penyebab dan waktu meninggalnya sang Legenda pendiri kota samarind.
Berasal dari sumber kami saat berkunjung makam ini ditemukan oleh pak Toha
yaitu bapak dari Pak Abdillah pada tahun 1965. Kemudian diangkat menjadi cagar
budaya Nasional.
Seorang perantau dari Sulawesi Selatan diterima baik oleh
Kerajaan Kutai Kartanegara. Menunjukan bahwa toleransi antar suku dan budaya
sudah ada sejak dulu, bahkan saling mempercayai satu sama lain. LaMohang Daeng
Mangkona seorang pemimpin daerah Samarinda yang rendah hati patut dicontoh. Dan
diingat jasa-jasanya untuk mendirikan daerah Samarinda.
LaMohang Daeng Mangkona kurang dipublikasikan kepada
masyarakat sekitar samarinda, karena kurangnya minat dan komunikasi untuk
mengingat sejarah berdirinya samarinda. Semoga Legenda dari daerah Samarinda
ini dapat diketahui oleh banyak orang terutama masyarakat yang tinggal di
samarinda.
Daftar pustaka
Balham, Johansyah. 2009. Riwayat Samarinda & Cerita Legenda Kalimantan Timur. Kalimantan Timur:
Biro Humas
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:Penerbit Kanisius
Kamus Besar Bahasa
Indonesia.2014
Muzakir, Djahar. 2007. Mari Mengenal Samarinda. Samarinda: Pustaka Spirit
Best Bitcoin casino site - LuckyClub.live
BalasHapusHow to create a Bitcoin casino? · Click “Join Now” · Enter your details in the Registering the luckyclub registration form · Go to your