Senin, 17 April 2017

Legenda Kampung-ku “Sama Rendah-ku”

Legenda Kampung-ku “Sama Rendah-ku”
Suci Gitya Iranata, Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya.

            Matahari yang menyadarkanku dari dunia mimpi dan aku Melihat kearah langit dan mengagumi betapa cerahnya hari ini untuk beraktivitas. Hari ini kelasku akan berkunjung ke salah satu cagar budaya nasional di kota Samarinda yaitu Makam LaMohang Daeng Mangkona untuk mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara dan akan dipimpin oleh dosen yang bernama Dahri Dahlan. Makam itu berada di samarinda seberang.
            Sebelum melakukan kunjungan, aku menyempatkan diri untuk berolahraga selama satu jam, karna jarak antara makam itu tidak jauh dari rumahku, sehingga aku mampu melakukan hal-hal lainnya. Karena jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku, aku memilih untuk tidak pergi ke titik kumpul bersama teman-teman yang lokasi rumahnya lumayan jauh dari makam itu. Aku hanya ditugaskan untuk menunggu mereka disekitar makam itu.
            Rombongan yang berada di titik kumpul terlambat sekitar 2 jam karena ada suatu kendala. Rencana berkunjung  pukul 9 namun kami sampai disitu sekitar pukul 11. Dikarenakan hari yang panas, aku memilih untuk kembali kerumah bersama beberapa teman yang sudah menunggu di makam itu sambil menunggu rombongan yang belum datang.
            Sekitar pukul 11 semua teman-teman telah berkumpul di makam Lamohang Daeng Mangkona untuk mendengarkan bapak Abdillah atau Juru kunci makam, yang akan bercerita tentang Legenda Lamohang Daeng Mangkona yang berasal dari Sulawesi Selatan yang menjaga kota samarinda pada masanya.
            Namun ada satu hal yang membuatku sedih, saat berkunjung pada hari itu, aku sedang kedatangan tamu (Haid) dan menurut kepercayaanku, wanita yang sedang dalam keadaan tidak suci maka tidak boleh mendekati makam (Kuburan) karena alasan tertentu. Sehingga aku hanya dapat mendengarkan bapak Abdillah dari luar pagar saja dan tidak bisa bertanya apa-apa, namun apa yang ingin aku tanyakan sudah ada beberapa temanku yang menanyakan kepada bapak Abdillah dan itu sangat membantuku untuk mengerjakan tugas mendatang.
           
            Berbicara tentang tugas, aku teringat bahwa tugas itu bertemakan tentang legenda. Beberapa minggu sebelum kunjungan ke Makam Lamohang Daeng Mangkona, materi tentang Legenda sudah diberikan oleh kak Dahri (Dosen) untuk dipelajari dan dipahami.
            “Legenda sama dengan mitos, juga diyakini sebagai kejadian yang sungguh-sungguh terjadi, namun legenda bersifat sekuler (Keduniawian). Legenda terjadi pada masa yang belum telalu lama dan bertempat di dunia seperti yang kita tempati” begitulah apa yang dikatakan oleh kak Dahri Dahlan pada saat di kelas. Kemudian dia juga mengatakan “Golongan Legenda ada 4 yaitu : Legenda Keagamaan, Legenda Alam Gaib, Legenda Perseorangan, dan Legenda Setempat”.       
             Dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang berhubungan dengan peristiwa sejarah.
            Legendaris (tokoh legendaris), ajektif dari kata legenda yang lebih luas lingkupnya. Karena tradisi lisan atau tertulis maka sekitar seorang tokoh historis dapat disusun sejumlah cerita yang mengagungkan kepahlawanannya dan yang sifat historis sukar dicek,  penjelasan dalam buku Pemandu di Dunia Sastra. Salah satu contoh tokoh legendaris adalah Lamohang Daeng Mangkona sang pendiri kota Samarinda.
            Dalam buku Riwayat Samarinda, Menurut cerita penyebaran orang-orang bugis keseluruh wilayah Nusantara termasuk di Kalimantan Timur khususnya di tanah kutai dari keluarga bangsawan Wajo dan Bone pada tahun 1965. Tewasnya Maltolla anak bangsawan Bone yang ditikam anak bangsawan Wajo bernama La Ma’dukelleng , yaitu putra Agung raja Paniki. Kematian Matalla tidak dapat diterima begitu saja oleh pihak kerabat kerajaan Bone. Pertempuran terjadi antara Wajo dan Bone. Pihak bone memiliki kekuatan yang cukup besar, maka secara perlahan kekuatan Wajo mulai melemah. Melihat kondisi yang semakin memarah, dan kerajaan Wajo memutuskan agar La Ma’Dukelleng mengungsi dan meninggalkan Wajo Pergi ke Tanah Kutai Kalimantan Timur.
            Setelah satu bulan mereka menetap disana, datang lagi rombongan kedua orang-orang Wajo dan Soppeng dengan jumlah lebih banyak serta menyampaikan kekalahan yang dialami Wajo. Kekalahan tersebut bukan hanya karena berperang dengan orang-orang bone tetapi rombongan ini meninggalkan Wajo karena perjanjian “Bongaja” dengan pihak Belanda yang menarik keuntungan dan mengambil kesempatan mengadu domba antar kerjaan di Sulawesi Selatan sehingga terpecah belah.
            Sebagian orang bugis wajo dari kerajaan Gowa yang tidak sudi tunduk dan patuh pada isi perjanjian Bongaja meneruskan perjuangan dan melakukan perlawanan secara bergerilya. Ada pula yang memutuskan meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi kepulau-pulau lain. Diantaranya adalah rombongan yang dipimpin LaMohang Daeng Mangkona yang memilih meninggalkan tanah leluhurnya, mediasi Selat Makassar menuju kerajaan kutai di Kalimantan Timur. Romobongan LaMohang Daeng Mangkona ini cukup besar, berjumlah sekitar 200 orang dan menggunkan 18 perahu.
            Dalam perungingan antara La Ma’Dukelleng dan LaMohang Daeng Mangkona. Diputuskan agar rombongan Daeng Mangkona tetap menuju daerah Kerajaan Kutai yang masih berpusat di Kutai Lama. Berangkatlah rombongan yang dipimpin Daeng Mangkona menuju Kutai Kartanegara untuk meminta perlindungan dengan Raja Kutai yang waktu itu dirajai oleh Aji Pangeran Dipati Mojo Kesumo yang memerintah pada tahun 1665-1668. Setelah beberapa hari mereka berlayar akhirnya sampailah mereka didaerah muara sungai Mahakam.
            Sungai Mahakam adalah sebuah sungai terpanjang dan terbesar di Kalimantan Timur yang membelah bumi dengan alur melintang dari Barat ke Timur. Sedang kerajaan Kutai Kartanegara berdiri sekitar tahun 2300 dengan menurunkan raja hingga raja terakhir sebanyak 22 raja hingga tahun 1960 yaitu Sultan Parikesit.
            Dalam buku Mari Mengenal Samarinda, kedatangan rombongan pengungsi ini diterima dengan baik oelh Sultan kutai Aji Dipati Mojo Kesumo yang saat itu bertahta di Pemarangan (sekarang Kampung Jembayan). Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh raja  kutai rombongan pengungsi tersebut diberi lokasi tempat tinggal di sekitar Kampung Melanti (Samarinda Seberang), yaitu daerah dataran rendah di tepi Sungai Mahakam yang cocok untuk usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan.

            Kemudian buku Riwayat Samarinda juga menuliskan, untuk kepentingan pertahanan, LaMohang Daeng Mangkona Serta pengikutnya diberi tempat didaerah rantau rendah yang subur dipinggiran kiri sungai Mahakam. Keberadaan mereka ditempat tersebut selain untuk membuka perkampungan juga untuk kepentingan pertahanan dan pengembangan perekonomian kerajaan. Untuk itu LaMohang Daeng Mangkona dipercayakan sebagai petinggi di daerah tersebut dengan gelar “Poa Adi”.
            Pemberian tempat tersebut memang tidak sia-sia, apa yang diharapkan oleh raja kutai memang berhasil. Semakin lama kampung yang baru dibuka itu semakin berkembang serta makmur . Pendatang tidak hanya dari Sulawesi saja tetapi orang-orang Banjar dari Kalsel. Kelompok demi kelompok berdatangan pula ke daerah yang dipimpin oleh LaMohang Daeng Mangkona. Hutan-Hutan dibabat lalu dijadikan perkebunan dan persawahan dan lain sebagainnya, sehingga menjamin kehidupan masyarakat secara keseluruhan . Maklum orang-orang bugis ini amat kuat bergotong-royong dan rasa kesetiakawanan. Mereka adalah penganut agama islam yang panatik. Padahal ketika itu rakyat maupun bangsawan kutai masih banyak yang beragama Hindu Kaharingan. Sebagiannya memang sudah pula memeluk agama Islam. Dengan adat kesetiakawanan yang tinggi masyarakat dibawah pimpinan Daeng Mangkona atau Poa Adi ini merasa tidak ada yang berderajat lebih tinggi dari yang lainnya. Karena itu mereka disini disebut orang berbudi dan rendah hati. Nama ini sangat memperngaruhi keadaan daerah tersebut. Semula banyak orang menyebut daerah itu dengan nama “Sama Rendah” yang lama kelamaan berganti sebutan “Samarinda” asli nama Samarinda itu adalah yang kini disebut sebagai Samarinda Seberang.
            Orang-orang bugis Wajo ini mulai membangun pemukiman didaerah “Sama rendah” atau Samarinda itu pada Januari 1668. Yang kemudian dijadikan patokan untuk menetapkan hari jadi kota Samarinda. Hari jadi kota Samarinda kemudian ditetapkan tanggal 21 Januari 1668 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1078 Hijriah. Penetapan hari jadi kota samarinda dilaksanakan bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Samarinda ke 320 pada 21 Januari 1980. Penetapan ini kemudian di perkuat Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samainda Nomor.1/Tahun 1988 setunggal 21 Januari 1988, pasal 1 yang berbunyi “Hari jadi kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1078 H”.
            Seiring berjalannya waktu, bertumbuhanlah kampung-kampung komunitas etnis lain di daerah seberang Samarinda Seberang, di jantung kota Samarinda sekarang. Apa alasan pemilihan lokasi di seberang Samarinda Seberang sebagai Lokasi tempat tinggal dan bahkan pertumbuhan komunitas masyarakat disana jauh lebih pesat, sampai saat ini belum diketahui (perlu penelitian lebih lanjut). Namun yang pasti, pertunmbuhan penduduk yang terjadi mulai mengarah pada terbentuknya kota dalam pengertian saat ini, sebagai daerah urban yang dihuni berbagai etnis dan memiliki cuku sarana-prasarana yang saat itu dianggap memadai. 
             Kematian Lamohang Daeng Mangkona tidak diketahui penyebab dan waktu meninggalnya sang Legenda pendiri kota samarind. Berasal dari sumber kami saat berkunjung makam ini ditemukan oleh pak Toha yaitu bapak dari Pak Abdillah pada tahun 1965. Kemudian diangkat menjadi cagar budaya Nasional.
            Seorang perantau dari Sulawesi Selatan diterima baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Menunjukan bahwa toleransi antar suku dan budaya sudah ada sejak dulu, bahkan saling mempercayai satu sama lain. LaMohang Daeng Mangkona seorang pemimpin daerah Samarinda yang rendah hati patut dicontoh. Dan diingat jasa-jasanya untuk mendirikan daerah Samarinda.
            LaMohang Daeng Mangkona kurang dipublikasikan kepada masyarakat sekitar samarinda, karena kurangnya minat dan komunikasi untuk mengingat sejarah berdirinya samarinda. Semoga Legenda dari daerah Samarinda ini dapat diketahui oleh banyak orang terutama masyarakat yang tinggal di samarinda. 



Daftar pustaka
Balham, Johansyah. 2009. Riwayat Samarinda & Cerita Legenda Kalimantan Timur. Kalimantan Timur: Biro Humas
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:Penerbit Kanisius
Kamus Besar Bahasa Indonesia.2014
Muzakir, Djahar. 2007. Mari Mengenal Samarinda. Samarinda: Pustaka Spirit


1 komentar:

  1. Best Bitcoin casino site - LuckyClub.live
    How to create a Bitcoin casino? · Click “Join Now” · Enter your details in the Registering the luckyclub registration form · Go to your

    BalasHapus