Rangkuman
Suci Gitya Iranata
1614015041
“Pengadilan
Puisi”
Pamusuk Eneste
Pada
pertengahan bulan Agustus 1974, berisi
undangan untuk baca sajak di bandung dan mengikuti suatu kegiatan sastra. 8
September 1974 Sutardji Calzoum Bachri menyebut-nyebut tentang bentuk “Pengadian Puisi”.
Acara
semacam ini bisa jadi kocak, tapi juga mungkin
menghambar atau malah konyol. Sekiranya “skenarionya” sudah disusun
lebih dulu dan malah ada semacam latihan .
Puisi
Indonesia Mutakhir jadi terdakwa yang diadili; ada jaksa yang mendakwa, ada
pembela yang menangkis dakwaan, ada orang-orang yang membeikan kesaksian dan
tentu saja kemudian ada hakim yang memutuskan.
Dakwaan
untuk keadaan kritis puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagaluang dan H.B.Jassin,
terhadap penjagoan subagio Sastrowardoyo oleh MSH serta penjagoan W.S.Rendra
oleh HBJ, terhadap tindak dibicarakannya Sutardji cazoum bachri dan darmanto Jt
yang membawa gejala pembaharuan oleh MSH dan HBJ terhadap saling memuji di
dalam tiga serangkai goenawan Mohamat cum sapardi doko damono cum abdul hadi
W.M.terhadap horison yang tidak lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab,
terjerums menjadi majalah keluarga, dan tempat tumbuh subur epigon-epigon
seperti abdul hadi
Slamet
Kirnanto membacakan tuntutannya dengan semangat Zola mendakwa “kehidupan puisi
indonesia akhir-akhir ini tidak sehat, tidak jelas dan brengsek”.
Kehidupan puisi selama ini mengalami
semacam polusi dan bahkan manipulasi manipulasisehingga menyebabkan sesak tidak
sehat, tidak jelas, dan sekaliannya brengsek!.
Tuntutannya adalah:
1) Pertama, para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan
puisi mutakhir khususnyan HBJ dan MSH harus di pesiunka dari peranan yang
pernah dia miliki.
2) Kedua, para editir majalah sastra khususnya horison(sapardi joko
darmono) dicuti besarkan.
3) Ketiga, para penyair mapan seperti subagio, rendra, goenawan, dan
sebangsanya di larang menulis puisi dan para epigonyaharus dikenakanhukum
pembuangan kemudian interaksinya dibuang pula ke pulau paling terpencil.
4) Ke empat dan terkahir, horison dan budaya jaya harus di cabut SIT
nya dan yang sudah terbit selama ini dinyataan tidak berlaku, da dilanrang
untuk di baca peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan
perkebngan sastra dan puisi yang didasarkan atas kita undang-undang hukum
puisi.
Kala
itu salah satu yang dituduhkan adalah para kritikus antara lain H.B.Jassin dan
M.S Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa yang selal menghembus-hembuska
angin sastra yang tidak sehat itu, serta tidak sanggup melihat gejala dan
kenyataan adanya aliran baru yang indonesia dan karena itu harus di pensiunkan.
Kritikus
dinilai tidak becus dan tergeser kedudukannya karena tampil kritikus yang lebih
diperhatikan. Dan juga diperlukan kritikus yang aneka ragam sehingga mampu
menangani corak baru dalam dunia kesusastraan.
Para
penyair tidak baik saling menjelekkan, alangkah baiknya mereka memberikan karya
yang baik menurut bakatnya. Dan ada pula gunannya masing-masing penyair
sekali-sekali menjadi juru bicara bagi sajaknya yang belum dimengerti oleh
publik .
Kirnanto
mengamuk dan bertanya: “apakah kritik sastra di Indonesia telah mati sebelum
hidup?”. “Saya mendakwa kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini tidak sehat,
tidak jelas dan brengsek!”
Menurut
M.S. Hatugalung, Pandangan-pandangan Slamet Kinanto adalah pandangan yang tidak
sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama
karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Sebuah
pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan
argumentasi. Puisi itu brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus,
sebenarnya tidak benar. Sudut pandang. Kirnantolah yang brengsek. Untuk menilai
seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa
mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu.
Tuntutan
Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahwa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru,
dan tidak kocak (kecuali, barangkali, empat buah pokok tuntutannya yang
dibagian akhir tulisan itu). Barangkali kita harus menghargai Slamte Kirnanto
karena “keberanian”nya tampil di Bandung tempo hari , namun saya berpendapat
bahwa ia adalah tokoh yang terlalu “serius” untuk pertemuan serupa itu. Suasana
pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang bertindak sebagai “Penuntut
Umum”.
Apa
salahnya pengadilan untuk Puisi. Pertama-tama, tentu saja untuk mensahkan hak
hidup puisi Indonesia. Dengan demikian penyair-penyair sudah tidak lagi
dikejar-kejar pertanyaan tuntutan. Yang kedua, penyair-penyair akan mengerti
mana yang boleh ditulis atau dipuisikan dan mana yang tidak. Kemudian yang
ketiga, pengadilan ini berhak menjatuhkan hukuman pada penyair-penyair yang
suka mengacau: tentu saja hukuman mental, sebab puisi terkena hukuman ini.
Sajak-Sajak kotor dan menghina agama, tentu akan menyebabkan si penyair
dituntut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar