Senin, 24 April 2017

Sekilas Isi buku "Pengadilan Puisi" Pamusuk Eneste

Rangkuman
Suci Gitya Iranata
1614015041

“Pengadilan Puisi”
Pamusuk Eneste

            Pada pertengahan bulan Agustus 1974,  berisi undangan untuk baca sajak di bandung dan mengikuti suatu kegiatan sastra. 8 September 1974 Sutardji Calzoum Bachri menyebut-nyebut tentang  bentuk “Pengadian Puisi”.
            Acara semacam ini bisa jadi kocak, tapi juga mungkin  menghambar atau malah konyol. Sekiranya “skenarionya” sudah disusun lebih dulu dan malah ada semacam latihan .
            Puisi Indonesia Mutakhir jadi terdakwa yang diadili; ada jaksa yang mendakwa, ada pembela yang menangkis dakwaan, ada orang-orang yang membeikan kesaksian dan tentu saja kemudian ada hakim yang memutuskan.
            Dakwaan untuk keadaan kritis puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagaluang dan H.B.Jassin, terhadap penjagoan subagio Sastrowardoyo oleh MSH serta penjagoan W.S.Rendra oleh HBJ, terhadap tindak dibicarakannya Sutardji cazoum bachri dan darmanto Jt yang membawa gejala pembaharuan oleh MSH dan HBJ terhadap saling memuji di dalam tiga serangkai goenawan Mohamat cum sapardi doko damono cum abdul hadi W.M.terhadap horison yang tidak lagi menjalankan peranan penuh tanggung jawab, terjerums menjadi majalah keluarga, dan tempat tumbuh subur epigon-epigon seperti abdul hadi
            Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya dengan semangat Zola mendakwa “kehidupan puisi indonesia akhir-akhir ini tidak sehat, tidak jelas dan brengsek”.
            Kehidupan puisi selama ini mengalami semacam polusi dan bahkan manipulasi manipulasisehingga menyebabkan sesak tidak sehat, tidak jelas, dan sekaliannya brengsek!.
            Tuntutannya adalah:
1)      Pertama, para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir khususnyan HBJ dan MSH harus di pesiunka dari peranan yang pernah dia miliki.
2)      Kedua, para editir majalah sastra khususnya horison(sapardi joko darmono) dicuti besarkan.
3)      Ketiga, para penyair mapan seperti subagio, rendra, goenawan, dan sebangsanya di larang menulis puisi dan para epigonyaharus dikenakanhukum pembuangan kemudian interaksinya dibuang pula ke pulau paling terpencil.
4)      Ke empat dan terkahir, horison dan budaya jaya harus di cabut SIT nya dan yang sudah terbit selama ini dinyataan tidak berlaku, da dilanrang untuk di baca peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkebngan sastra dan puisi yang didasarkan atas kita undang-undang hukum puisi.
           
            Kala itu salah satu yang dituduhkan adalah para kritikus antara lain H.B.Jassin dan M.S Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa yang selal menghembus-hembuska angin sastra yang tidak sehat itu, serta tidak sanggup melihat gejala dan kenyataan adanya aliran baru yang indonesia dan karena itu harus di pensiunkan.
            Kritikus dinilai tidak becus dan tergeser kedudukannya karena tampil kritikus yang lebih diperhatikan. Dan juga diperlukan kritikus yang aneka ragam sehingga mampu menangani corak baru dalam dunia kesusastraan.
            Para penyair tidak baik saling menjelekkan, alangkah baiknya mereka memberikan karya yang baik menurut bakatnya. Dan ada pula gunannya masing-masing penyair sekali-sekali menjadi juru bicara bagi sajaknya yang belum dimengerti oleh publik .
            Kirnanto mengamuk dan bertanya: “apakah kritik sastra di Indonesia telah mati sebelum hidup?”. “Saya mendakwa kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!”
            Menurut M.S. Hatugalung, Pandangan-pandangan Slamet Kinanto adalah pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi. Puisi itu brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang. Kirnantolah yang brengsek. Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu.
            Tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahwa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru, dan tidak kocak (kecuali, barangkali, empat buah pokok tuntutannya yang dibagian akhir tulisan itu). Barangkali kita harus menghargai Slamte Kirnanto karena “keberanian”nya tampil di Bandung tempo hari , namun saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu “serius” untuk pertemuan serupa itu. Suasana pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang bertindak sebagai “Penuntut Umum”.
            Apa salahnya pengadilan untuk Puisi. Pertama-tama, tentu saja untuk mensahkan hak hidup puisi Indonesia. Dengan demikian penyair-penyair sudah tidak lagi dikejar-kejar pertanyaan tuntutan. Yang kedua, penyair-penyair akan mengerti mana yang boleh ditulis atau dipuisikan dan mana yang tidak. Kemudian yang ketiga, pengadilan ini berhak menjatuhkan hukuman pada penyair-penyair yang suka mengacau: tentu saja hukuman mental, sebab puisi terkena hukuman ini. Sajak-Sajak kotor dan menghina agama, tentu akan menyebabkan si penyair dituntut.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar